Masalah-Masalah Energi Dunia

Quang Dung
Chia sẻ
(VOVWORLD) - Tranformasi energi saat ini dianggap sebagai satu prioritas global pada latar belakang dunia sedang menggencarkan upaya untuk mencapai target-target iklim. Namun, peta jalan untuk menghapuskan bahan bakar fosil dan meningkatkan kapasitas energi bersih masih mengalami banyak tantangan.

Pada Konferensi ke-28 Para pihak Konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim (COP 28) yang diselenggarakan pada bulan Desember tahun lalu, di Dubai, Uni Emirat Arab, komunitas internasional mencapai kesepakatan sejarah tentang akan berangsur-angsur menghapuskan bahan bakar fosil. Namun, pembuatan peta jalan pelaksanaan komitmen ini tidak sederhana.

Masa depan gas bakar

Satu masalah besar sekarang ini yang masih menimbulkan perpecahan negara-negara serta komunitas energi internasional ialah berapa lama masa depan bahan bakar fosil akan bertahan? Sekarang, ada sangat banyak indikasi yang menunjukkan bahwa transformasi energi negara-negara di dunia mungkin akan berlangsung secara lebih cepat dari rencananya karena ada faktor-faktor kondusif seperti: peningkatan kapabilitas produksi, pemasangan infrastruktur energi terbarukan, peningkatan drastis pangsa pasar hidrogen hijau. Khususnya, harga bahan bakar sedang menurun tajam di dunia. Di Eropa, harga penjualan grosir gas bakar pada pekan lalu diperdagangkan pada taraf 23 Euro/MWh (sama dengan 24,8 USD), taraf paling rendah sejak bulan Mei 2021. Oleh karena itu, beberapa pakar beranggapan bahwa era gas bakar, salah satu di antara bahan-bahan bakar fosil yang paling banyak dikonsumsi, telah menjelang berakhir.

Masalah-Masalah Energi Dunia - ảnh 1Panorama acara pembukaan COP 28 (Foto: Xinhua /VNA)

Namun, bukan semua yang berbagi penilaian ini. Pada tanggal 25 Februari, Qatar menyatakan meresmikan gugus ekploitasi gas bakar baru untuk meningkatkan hasil produktivitas ekspor gas bakar dan gas alam cair (LNG), tanpa memedulikan harga gas bakar di Amerika Serikat dan Eropa mengalami taraf rendah rekor. Menurut Presiden “QatarEnergy”, Saad Al-Kaabi, tanpa memedulikan kebutuhan gas bakar di Amerika Serikat dan Eropa merosot, pasar-pasar besar lain di Asia tetap mengalami pertumbuhan cepat dan gas bakar tetapi memiliki masa depan yang berjangka panjang.

“Kita masih mengatakan bahwa gas bakar merupakan sebagian solusi untuk transformasi energi, dan menurut saya, ada banyak orang yang telah ikut serta dalam proses ini. Kami juga bergabung sejak awal, tetapi kami tidak mengubah pandangan, yaitu gas bakar masih memiliki satu masa depan yang luas untuk setidaknya 50 tahun lagi”.

Selain gas bakar, jenis energi lainnya yang juga menimbulkan banyak kontroversi ialah energi nuklir. Sekarang, mayoritas negara-negara dan organisasi telah memasukkan energi nuklir ke dalam kelompok “energi bersih”. Dari tanggal 21 sampai 22 Maret ini, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) akan mengadakan konferensi tingkat tinggi tentang energi nuklir di Brussels, Belgia. Menurut IAEA, ini akan menjadi konferensi tingkat tertinggi yang hanya berfokus pada tema energi nuklir, dengan partisipasi dari sekitar 30 negara. Sebelumnya, di COP 28, lebih dari 20 negara, di antaranya ada Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa neagra Eropa, telah mengimbau untuk meningkatkan tiga kali lipat hasil produksi listrik tenaga nuklir di dunia pada tahun 2050 guna mencapai target-target iklim. Menurut Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, semakin ada banyak negara yang berencana memasukkan energi nuklir ke dalam program energi nasional atau memperluas program-program nuklir yang sedang ada, yang terkini adalah Kanada pada tanggal 29 Februari. Namun, para pakar energi dan lingkungan menganggap bahwa kontroversi yang keras tentang energi nuklir masih berlangsung pada beberapa tahun mendatang, karena taraf keselamatan serta penanganan bahan limbah nuklir masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara.

Tantangan tentang Berinvestasi pada Energi Terbarukan

Bagi energi terbarukan, ragam energi yang dianggap sebagai masa depan dunia, laporan yang diumumkan oleh Badan Energi Internasional (IEA) pada tanggal 11 Januari menunjukkan bahwa kapasitas energi terbarukan global pada tahun lalu telah meningkat 50% dibandingkan dengan tahun 2022. Konkretnya, pada tahun lalu, dunia telah mencapai lagi 510 GW (Gigawat) energi terbarukan, mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk hampir 51 juta kepala keluarga per tahun, di antaranya energi surya menduduki 75%. Menurut penilaian IEA, dengan laju sekarang, kapasitas energi terbarukan dunia bisa meningkat 2,5 kali lipat pada tahun 2030. Namun, Direktur IEA, Fatih Birol beranggapan bahwa hal ini masih belum cukup bagi dunia untuk mencapai target yang sudah ditetapkan pada COP 28 ialah meningkat tiga kali lipat. Menurut Kepala IEA, salah satu alasan utama yang menyebabkan kelambatan ialah investasi belum pantas pada bidang energi terbarukan, khususnya dari grup-grup energi raksasa yang sedang dianggap mendapat omzet rekor dari bahan bakar fosil tetapi belum melaksanakan secara tepat komitmennya dalam transformasi energi:

“Menurut kami, grup-grup pertambangan dan permigasan hanya menyediakan 2,5% dari anggaran keuangannya untuk berinvestasi di bidang energi bersih, sedangkan 97,5% sisanya diinvestasikan untuk kegiatan-kegiatan ekploitasi tradisional. Oleh karena itu, ada kesenjangan yang sangat besar antara apa yang sudah dikomitmenkan oleh grup ini dengan strategi investasi sungguh-sungguh yang sedang mereka lakukan”.

Masalah-Masalah Energi Dunia - ảnh 2Direktur Jenderal  IAEA, Rafael Grossi (Foto: Xinhua /VNA)

Sebelumnya, pada tanggal 19 Februari, “Global Witness” mengumumkan laporan yang menunjukkan bahwa lima grup energi besar, antara lain: BP (Inggris), Shell (Inggris, Belanda), Chevron (Amerika Serikat), ExxonMobil (Amerika Serikat) dan Total Energy (Prancis) mencapai omzet rekor sebanyak 281 miliar USD sejak bulan Februari 2022, saat meledaknya konflik di Ukraina. Namun, menurut rencana, grup-grup ini akan menyediakan sekitar 100 miliar USD untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, alih-alih memprioritaskan transformasi energi. Kenyataan itu menimbulkan tantangan-tantangan besar bagi upaya-upaya menciptakan terobosan bagi energi terbarukan di dunia, karena menurut Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif Konvensi Kerangka PBB tentang perubahan iklim (UNFCC), untuk berhasil melakukan transformasi energi, dunia membutuhkan sekitar 2,4 triliun USD, satu angka yang sulit dicapai pada saat ini.

Komentar