Ilustrasi (Foto: AP) |
Setelah pembatasan visa, ketentuan baru tentang kunjungan-kunjungan diplomatik dan pengusiran wartawan, perihal Tiongkok menutup Konsulat Jenderal di Houston menurut tuntutan AS serta perihal AS menutup Konsulat Jenderal di Chengdu menurut tuntutan Tiongkok, maka hubungan dua negara semakin tegang.
Keterlibatan-keterlibatan dalam hubungan ekonomi bilateral
Tiongkok dan AS keduanya harus menderita kerugian dalam perang tarif yang merebak di tahun 2018. Pada awal tahun 2020, bersama dengan permufakatan perdagangan tahap I yang dicapai dua negara, perang dagang nampaknya sudah turun. Presiden Donald Trump berencana melakukan perundingan perdagangan tahap II dengan Tiongkok setelah pemilihan Presiden AS pada November tahun ini. Akan tetapi, terjadinya wabah Covid-19 di kedua negara beserta ketegangan-ketegangan belakangan ini telah membuat panorama tentang permufakatan perdagangan tahap II semakin menjadi suram. Hal ini akan berdampak negatif terhadap perdagangan bilateral. Karena, AS tetap merupakan pasar ekspor terbesar bagi Tiongkok, bahkan setelah Presiden AS mengenakan sanksi-sanksi tarif terhadap komoditas Tiongkok. Sementara itu, Tiongkok merupakan pasar yang besarnya nomor 3 bagi para eksportir AS, sekaligus juga satu pasar “raksasa” tentang komoditas dan jasa dimana ada pabrik-pabrik produksi milik perusahaan-perusahaan besar dari AS seperti General Motors atau Burger King. Menurut data statistik, nilai impor AS terhadap hasil pertanian, bahan semikonduktor, dan bermacam jenis barang dagangan lainnya dari Tiongkok telah turun 11,4% di tahun 2019, tetapi tetap melampaui angka 100 miliar USD. Sementara itu, ekspor ke pasar Tiongkok sedang turut menciptakan lapangan kerja untuk sekitar sejuta orang AS, meski angka itu sudah turun 10% dibandingkan dengan tarap tertinggi yang dicatat di tahun 2017.
Di bidang teknologi, perusahaan-perusahaan teknologi AS menderita taraf risiko pendapatan usaha yang tinggi karena bergantung pada pabrik-pabrik Tiongkok dalam merakit smartphone, komputer, dan alat-alat elektronik yang lain. Di segi lain, pembatasan terhadap Grup teknologi Huawei (Tiongkok) dalam mendekati suku cadang dan teknologi AS telah dan sedang membuat para pemasok, termasuk perusahaan-perusahaan di Lembah Silicon kehilangan pendapatan senilai hinggi miliaran USD. Sekarang, Beijing sedang mengimbau kepada para eksportir dalam negeri supaya mencari pasar-pasar lainnya selain AS. Akan tetapi hal ini tidak begitu mudah.
Mengacau-balaukan hubungan-hubungan ekonomi
Hubungan Tiongkok-AS merupakan satu bagian penting dalam hubungan negara-negara besar di dunia serta semua hubungan internasional. Oleh karena itu, ketegangan yang bereskalasi dalam hubungan AS-Tiongkok tidak hanya memengaruhi ekonomi dua negara, tetapi juga sebagian sisanya dari dunia. Menurut ekonom Jeffrey Sachs, Universitas Kolombia (AS), dunia sedang menuju satu periode “terputus dalam skala luas tanpa ada bimbingan”. Ia memperingatkan bahwa perpecahan antara dua negara adi kuasa semakin membuat situasi menjadi serius.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Wall Street tentang hubungan simbiosis yang telah berlangsung puluhan tahun ini dari dua perekonomian terbesar di dunia menunjukkan bahwa dunia semakin mengalami polarisasi. Perekonomian-perekonomian dan badan usaha sedang condong ke pihak AS atau Tiongkok.
Dalam laporan tentang prospek pada paro kedua tahun 2020, BlackRock, Grup pengelolaan investasi global dari AS, menganggap bahwa konfrontasi antara AS dan Tiongkok akan membuat negara-negara didorong untuk memilih kubu. Perpisahan dua perekonomian sedang terkonsentrasi di bidang teknologi, tetapi tidak akan berhenti di sini saja.
Bulan-bulan awal tahun 2020 menyaksikan sangat banyak gejolak dalam hubungan AS-Tiongkok. Dan ketegangan sekarang sangat sulit diatasi dalam waktu sisanya tahun 2020. Hal ini sama arti bahwa kekacau-balauan dalam hubungan internasional tetap berlangsung dan memprihatinkan opini umum.