Baru-baru ini, Tiongkok secara terus menerus menunjukkan kemampuan “berubah-ubah” dalam kebijakan di Laut Timur, dari cara membuat sendiri sembilan garis putus-putus di Laut Timur sampai melakukan propaganda tentang apa yang disebut Sisha. Ketika komunitas internasional menentang sembilan garis putus-putus, Tiongkok segera berbelok arah, berfokus pada apa yang disebut sebagai klaim kedaulatan terhadap pulau-pulau, dangkalan, lapangan pasir di Laut Timur. Tiongkok dengan berkepala batu membentuk apa yang disebut sebagai “Xisha” dan “Nansha”, mengirimkan pesawat mendarat di Pulau Chu Thap (pulau Fiery Cross Reef), di Kepulauan Truong Sa (Spratly) wilayah Vietnam.
Pulau karang Subi direklamasi secara ilegal oleh Tiongkok (Foto: AP) |
Dengan memperhebat Strategi “Sisha”, Tiongkok telah melanggar secara serius banyak klausul dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), memanifestasikan langkah eskalasi dengan perhitungan dalam menegaskan kedaulatan yang ilegal dari negara ini di kawasan Laut Timur, dengan intrik ingin mengubah Laut Timur menjadi “kolam mereka sendiri”. Opini umum terus memberikan reaksi-reaksi keras atas ambisi yang tidak masuk akal dari Tiongkok di Laut Timur.
Secara serempak mengirim nota protes kepada PBB
Secara bertubi-tubi selama berhari-hari ini, banyak negara, termasuk negara-negara di kawasan yang bersangkutan atau negara-negara di luar kawasan, semuanya memprotes ambisi-ambisi yang tidak masuk akal dari Tiongkok di Laut Timur.
Dalam perkembangan terkini, Duta Besar Amerika Serikat (AS) di PBB, Ibu Kelly Craft baru saja mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB untuk memprotes semua klaim kedaulatan di laut yang ilegal dari Tiongkok. Dalam suratnya, Duta Besar Kelly Craft menekankan bahwa AS memprotes semua klaim kedaulatan di laut dari Tiongkok karena tidak sesuai dengan hukum internasional melalui UNCLOS 1982. Ibu Kelly Craft juga menuntut kepada Sekjen PBB, Antonio Guterres supaya menyampaikan suratnya kepada semua anggota PBB sebagai satu naskah dalam agenda Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB. Sementara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Mike Pompeo menyatakan bahwa AS memprotes klaim-klaim kedaulatan yang ilegal dari Tiongkok di Laut Timur, menganggap bahwa tuntuan-tuntutan Tiongkok ini berbahaya dan bertentangan dengan hukum. Menlu Mike Pompeo juga mengimbau kepada semua negara anggota PBB supaya bersatu dalam mempertahankan hukum internasional dan kebebasan pelayaran.
Sementara itu, Indonesia juga menegaskan pendirian negara ini tentang masalah-masalah di Laut Timur dalam nota yang disampaikan kepada Sekjen PBB, Antonio Guterres pada 26 Mei yang lalu. Indonesia menunjukkan dukungan Pemerintah negara ini terhadap vonis tahun 2016 yang dikeluarkan Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, ketika Mahkamah ini memihak Filipina dalam gugatan tentang wilayah dengan Tiongkok. Nota ini menegaskan bahwa “tuntutan Tiongkok tentang sembilan garis putus-putus kurang punya dasar hukum dan melanggar secara serius UNCLOS tahun 1982”.
Nota Indonesia merupakan reaksi paling baru di antara nota-nota yang disampaikan negara-negara ASEAN kepada PBB setelah nota Vietnam pada bulan Maret 2020 dan nota Malaysia pada bulan Desember 2019 tentang klaim kedaulatan Tiongkok terhadap landas kontinen di Laut Timur.
Perhitungan licik tentang kepentingan dan harga yang harus bayar
Bisa dilihat bahwa selama ini, pandangan dan tindakan Tiongkok diperhitungkan secara konkret. Tiongkok tidak memerdulikan kedaulatan yang tak terbantahkan dari Vietnam di dua kepulauan Hoang Sa (Paracels) dan Truong Sa (Spratly) di Laut Timur, bersamaan itu tidak menggubris hak-hak yang sah dari negara-negara di kawasan dan di dunia tentang kebebasan pelayaran dan penerbangan, memberikan tuntutan-tuntutan tentang kedaulatan yang tidak masuk akal menurut keinginan mereka sendiri. Akan tetapi, hasil perhitungan antara kepentingan yang diberikan dan harga yang harus bayar barulah hal yang patut diperbincangkan.
Duta Besar Amerika Serikat di PBB, Ibu Kelly Craft (Foto: Kemlu AS) |
Menurut para pengamat, risiko-risiko yang berkaitan dengan perihal Tiongkok dengan semaunya sendiri memaksakan hak-hak di Laut Timur sama sekali bisa terjadi. Ketegangan antara Beijing dan Washington masih terus meningkat ketika kedua pihak mengalami perselisihan di banyak segi, dari perdagangan, teknologi sampai masalah-maalah militer, dan sekarang melemparkan kesalahan dan memberikan kritik satu sama lain tentang cara menangani wabah serta asal-usulnya virus SARS-CoV-2 yang mengakibatkan wabah Covid-19. Di samping itu, citra sebuah negara besar di mata negara-negara tetangga Asia Tenggara selama bertahun-tahun ini menjadi buruk karena cara berperilaku yang tidak mematuhi hukum internasional dari Tiongkok. Oleh karena itu, kalau Tiongkok terus melakukan cara-cara berperilaku tanpa alasan di Laut Timur, meremehkan hukum internasional dan kedaulatan negara-negara pantai, maka akan turut meningkatkan bahaya konfrontasi dan bentrokan serta baku hantam di kawasan. Bersamaan itu, lebih menciptakan kerumitan dan keseriusan untuk menangani sengketa tentang masalah-masalah yang bersangkutan. Secara umum, hal ini merupakan penyebab yang berbahaya bagi keamanan dan kestabilan di kawasan.