Pada tanggal 24 Februari 2022, konflik Rusia-Ukraina meledak ketika tentara Rusia menyatakan untuk membuka “operasi militer istimewa” di wilayah Ukraina. Konflik terbesar di Eropa sejak pasca Perang Dunia II telah menimbulkan dampak-dampak serius dalam hal keamanan, geopolitik dan ekonomi, tidak hanya di Eropa saja, tetapi juga di seluruh dunia.
Api dan asap setelah serangan rudal yang dilakukan Rusia di Kiev, Ukraina, tanggal 2 Januari 2024 (Foto: Reuters) |
Mulai muncul harapan
Hampir tiga tahun setelah konflik meledak, prospek tentang penghentian konflik dengan langkah militer menjadi samar ketika Rusia dan Ukraina mempertahankan situasi umum yang relatif mengalami kebuntuan di medan perang, tanpa memedulikan biaya dan korban dari kedua pihak. Di segi politik, kedua pihak juga menyatakan dengan gigih tidak memberikan konsesi terhadap permintaan apa pun dari lawannya. Namun, kemacetan diplomasi sedang menunjukkan indikasi yang bisa ditangani, dengan faktor yang memberikan dampak terbesar ialah pemilihan presiden di Amerika Serikat (5 November). Pemilihan ini menandai kemenangan Donald Trump, yang punya pandangan tentang konflik di Ukraina yang sangat berbeda dengan pemerintah pimpinan Presiden Joe Biden. Dalam kampanye pemilihan, Donald Trump pernah berkali-kali memprotes peningkatan bantuan militer untuk Ukraina, bersamaan itu menyatakan “akan menghentikan konflik di Ukraina dalam waktu 24 jam setelah dilantik”. Komitmen ini diulangi lagi Presiden terpilih AS pada tanggal 14 November ketika menegaskan bahwa konflik Rusia-Ukrainaharus dihentikan. Sebelumnya, pada tanggal 10 November, koran terkemuka AS ialah “The Washington Post” juga memberitakan bahwa Donald Trump telah melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin untuk membahas masalah Ukraina, meskipin pihak Rusia tidak mengkonfirmasikan informasi ini.
Gerak-gerik baru dari Presiden terpilih AS mulai menciptakan perubahan-perubahan yang signifikan dalam pola pikir negara-negara sekutu Barat dalam blok militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang mayoritasnya mengejar kebijakan keras terhadap Rusia. Perkembangan yang patut diperhatikan ialah Kanselir Jerman, Olaf Scholz, pada tanggal 15 November, telah berinisiatif melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Ini untuk pertama kalinya setelah dua tahun kepada satu negara adi kuasa Barat melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden Rusia, gerak-gerik yang mengejutkan banyak negara sekutunya. Kanselir Jerman membela keputusan ini dengan argumentasi bahwa Eropa tidak bisa berdiri di luar sebarang pembahasan antara AS dan Rusia tentang masalah Ukraina pada waktu mendatang.
“Menurut pendapat saya, bukanlah ide bagus jika ada pembahasan-pembahasan pada waktu dekat antara Presiden AS dan Presiden Rusia, tetapi pemimpin satu neagra penting di Eropa tidak melakukan pembahasan sendiri. Mungkin ada beberapa orang di Jerman berpikir bahwa hal itu bagus, tetapi saya tidak”.
Presiden terpilih Donald Trump (Foto: Reuters) |
Meskipun mencela Kanselir Olaf Scholz yang telah membawa keunggulan perundingan untuk Rusia, tetapi menurut kalangan pengamat, pemerintah Ukraina nampaknya juga sedang mengubah pandangannya. Sehari setelah pembicaraan telepon antara dua pemimpin Rusia-Jerman, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky juga menyatakan di Radio Ukraina bahwa Ukraina harus melakukan segala yang bisa dilakukan untuk menghentikan konflik pada tahun 2025 dengan jalan diplomatik. Pernyataan ini menandai perubahan besar dalam pendirian Kiev, karena sebelumnya para pemimpin Ukraina selalu menegaskan “tidak berdialog” selama Presiden Rusia, Vladimir Putin masih memegang jabatan.
Bahaya eskalasi masih eksis
Tanpa memedulikan harapan-harapan yang tipis tentang pengadaan kembali dialog-dialog untuk menangani konflik dengan jalan diplomatik, bahaya bereskalasinya konflik Rusia-Ukraina masih berada di taraf tinggi. Informasi-informasi yang terkait dengan pengiriman serdadu oleh Republik Demokratik Rakyat Korea (RDRK) ke Rusia dan terkini ialah Pemerintah Presiden Jode Biden menghapuskan pembatasan, membolehkan tentara Ukraina menggunakan senjata serangan jarak jauh yang disponsori Amerika Serikat sedang membangkitkan kecemasan tentang eskalasi konflik yang akan naik ke tingkat baru yang lebih berbahaya. Sebelumnya, para pemimpin Rusia pernah berkali-kali memperingatkan bahwa satu tindakan seperti itu hampir sama artinya bahwa NATO langsung mengintervensi konflik dan akan memaksa Rusia memberikan balasan secara sepadan.
Ian Kelly, mantan Duta Besar Amerika Serikat di Gruzia, sekarang adalah pakar di Universitas Barat Laut (AS) menilai:
“Hingga bulan Februari mendatang, konflik akan memasuki tahun ke-3, dan menurut saya telah ada kelelahan dalam perang ini, dan ada harapan baik AS maupun Eropa untuk melakukan gerak-gerik diplomatik. Kalau bertindak seperti itu, perlu menempatkan pihak Ukraina pada posisi yang lebih kuat tentang militer dan taktik. Hal ini sama artinya terus memberikan bantuan militer untuk melakukan persiapan bagi semua solusi perundingan mana pun”.
Presiden Rusia, Vladimir Putin (kiri) dan Kanselir Jerman, Olaf Scholz. (Foto: Getty Images) |
Menurut kalangan pengamat, masalah kuncinya ialah cara Rusia memberikan tanggapan terhadap gerak-gerik meningkatkan bantuan militer bagi Ukraina selama hari-hari akhir masa bakti Presiden AS, Joe Biden. Apabila Rusia memberikan balasan kuat terhadap semua gerik-gerik ini, dimulainya dialog-dialog untuk mengusahakan diplomatik untuk konflik ketika Presiden terpilih Donald Trump resmi memegang kekuasaan pada tanggal 20 Januari tahun depan akan menjadi lebih sulit, meskipun Donald Trump merupakan orang yang sangat mendukung untuk segara menghentikan konflik.