Konflik di Sudan meledak pada tgl 15 April tahun lalu ketika Tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) berkonfrontasi untuk merebut pengontrolan terhadap negara Afrika Timur. Situasi konfrontasi dari Ibukota Khartoum cepat menyebar ke daerah-daerah lain di seluruh negeri.
Asap mengepul paca konflik di Khartum, Ibukota Sudan pada tgl 01/05/2023 (Foto dokumenter) (Foto: AFP/VNA) |
Musibah Kemanusiaan
Konflik merebut kekuasaan antara dua pasukan yang pernah menjadi sekutu satu sama lain telah memojokkan Sudan ke dalam situasi kekacauan ketika perekonomian dan institusi-institusi Negara berdiri di jurang keruntuhan. Menurut data-data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), konflik selama setahun ini di Sudan telah merampas jiwa sekitar 15.000 orang dan membuat ratusan ribu orang lain luka-luka. Lebih dari 8,5 juta orang harus mengungsi ke luar rumahnya, di antaranya ada kira-kira 1,8 juta orang harus berlari ke negara-negara tetangga Sudan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberitahukan bahwa sistem kesehatan di Sudan sedang mengalami keruntuhan karena kekurangan serius personil medis serta obat-obatan, vaksin, dan peralatan medis. Sekitar 70-80 persen basis medis di Sudan tidak bisa beraktivitas akibat konflik. Beberapa Negara Bagian tidak menerima peralatan medis apa pun sepanjang tahun ini.
Yang lebih serius, konflik tersebut telah memojokkan Sudan ke dalam satu krisis kemanusiaan yang lebih serius. Pada tgl 29 Maret, Sistem Klasifikasi Tahapan Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) dari PBB memperkirakan bahwa ada sekitar 5 juta warga Sudan sedang mengalami malnutrisi yang parah, di antaranya ada 3,6 juta anak-anak balita dan 1,2 juta perempuan hamil dan menyusui. IPC menekankan bahwa apabila tindakan-tindakan permusuhan tidak segera dihentikan dan memperhebat penggelaran bantuan kemanusiaan, sekitar separuh warga Sudan akan menghadapi bahaya mengalami kerawanan pangan dan malnutrisi akut di tingkat yang paling buruk dari bulan April sampai Mei.
Meskipun situasi kemanusiaan secara terus-menerus terkikis, kegiatan-kegiatan pertolongan di Sudan telah mengalami banyak tantangan karena konflik di Sudan terus terjadi secara rumit, infrastruktur mengalami kerusakan sehingga alokasi bantuan pertolongan menghadapi rintangan. Yang lebih dikhawatirkan ialah krisis di Sudan sedang menyebar ke negara-negara tetangga lain yang sedang mengalami kesulitan. Michael Dunford, Direktur Kawasan Afrika Timur dari Program Pangan PBB (WEF) mengatakan:
“Pengungsi Sudan sedang melanda di Chad dan Sudan Selatan – dua negara yang sudah mengalami destabilitas. Sudan Selatan sekarang harus menerima lebih dari 600.000 pengungsi Sudan sementara itu 75 persen populasi negara ini sedang memerlukan bantuan kemanusiaan. Oleh karena itu, WFP dan organisasi-organisasi lain tidak bisa memenuhi semua kebutuhan”.
Para pengungsir Sudan di satu rumah sakit di Adre, Chad (Foto: Reuters) |
Konflik yang Dilupakan
Tanpa memedulikan musibah kemanusiaan di Sudan, pertolongan untuk warga sipil di negara Afrika Timur ini tetap terbentur rasa acuh tak acuh dari komunitas internasional. Menurut PBB, badan-badan kemanusiaan dari organisasi ini memerlukan sedikitnya 2,7 miliar USD pada tahun ini untuk memasok pangan, peralatan medis dan semua kebutuhan lain untuk 24 juta warga Sudan, sama dengan separuh populasi negara ini (51 juta penduduk). Tetapi, angka yang dikeluarkan OCHA menunjukkan bahwa hingga bulan Maret tahun ini, para donor baru berkomitmen memberikan 145 juta USD bagi Sudan, sama dengan 5 persen dari kebutuhannya. Menurut Christos Christou, Ketua Organisasi “Dokter lintas batas” (MSF), rasa acuh tak acuh dari komunitas internasional terhadap Sudan telah menimbulkan kejutan dan tidak bisa diterima karena Sudan sedang mengalami musibah kemanusiaan yang terbesar di dunia.
Sementara itu, upaya-upaya komunitas internasional untuk mengusahakan solusi menghentikan konflik dan membuat solusi-solusi politik bagi Sudan tetap mengalami kemacetan. Dalam sidang terkini Dewan Keamanan (DK) PBB tentang situasi Sudan pada akhir bulan Maret, semua pihak tidak bisa mengeluarkan satu solusi yang implementaif mana pun pada waktu mendatang selain imbauan-imbauan supaya semua pihak peserta konflik melakukan gencatan senjata. Yang patut diperhatikan, beberapa negara terus mencela satu sama lain karena mengintervensi konflik di Sudan dan membuat situasi lebih rumit. Kemacetan ini memaksa Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres harus memperingatkan:
“Konflik-konflik sekarang sedang menimbulkan akibat yang mengerikan untuk warga Sudan, mempengaruhi kesatuan dari negara ini. Sekarang, muncul bahaya yang serius yaitu konflik ini bisa menyulut destabilitas di kawasan dengan implikasi-implikasi yang besar dan memanjang dari Sahel ke Tanduk Afrika dan Laut Merah”.
Pada waktu mendesak, konflik di Sudan sedang langsung mengancam hubungan antara negara ini dengan Sudan Selatan. Tidak hanya membuat Sudan Selatan harus menderita tekanan besar dari arus pengungsi saja, konflik di Sudan juga meningkatkan instabilitas di garis perbatasan antara dua negara, bersamaan itu menghancurkan semua kegiatan kerja sama, di antaranya ada pipa minyak tambang dari Sudan Selatan lewat Sudan ke Pelabuhan Sudan di Laut Merah. Kalangan pengamat memperingatkan bahwa apabila konflik tetap terjadi secara berjangka panjang di Sudan, kedua negara tersebut bisa mengalami situasi permusuhan seperti beberapa tahun dulu, memojokkan kawasan ke dalam kekacauan baru yang lebih serius.