Presiden Palestina, Mahmous Abbas (kiri) dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (Foto: Anodolu) |
Puncaknya semua kecemasan muncul pada pertengahan pekan lalu ketika Pemerintah Palestina menyatakan menghentikan semua permufakatan yang sudah dicapai dengan Amerika Serikat (AS) dan Israel untuk membalas rencana Israel yang menggabungkan beberapa kawasan di Tepi Barat ke dalam wilayah negara ini. Dalam satu pernyatan resminya pada tanggal 20 Mei, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas menunjukkan bahwa penggabungan daerah-daerah pendudjkan Palestina yang dilakukan oleh Israel menunjukkan bahwa Israel tidak lagi ingin menaati semua permufakatan damai yang sudah dicapai. Oleh karena itu, Pemerintah Palestina tidak punya pilihan yang lain ialah harus menghentikan sepenuhnya tanggung-jawab dan kewajibannya dalam semua permufakatan dan MoU yang telah ditandatangani dengan AS dan Israel, meliputi semua permufakatan keamanan. Banyak analis menyatakan bahwa solusi dua negara dalam proses pedamaian Timur Tengah, bahkan keseluruhan proses perdamaian Timur Tengah sedang menghadapi bahaya runtuh sepenuhnya.
Bahaya runtuhnya proses perdamaian Timur Tengah
Menurut banyak sumber berita internasional, di sidang darurat di Kota Ramallah (Tepi Barat) pada tanggal 19 Mei malam, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas telah mengungkapkan Permufakatan Oslo (tahun 1993), Permufakatan Hebron (tahun 1997) dan MoU Sungai Wye (tahun 1998). Ini merupakan permufakatan-permufakatan yang telah melindungi orang Israel dan mempertahankan pengontrolan politik dari Pemerintah Nasional Palestina (PA) terhadap kawasan Tepi Barat Sungai Jordan. Oleh karena itu, kalau Palestina benar-benar menghentikan semua komitmen dan kerjasama keamanan dengan Israel seperti dikeluarkan dalam pernyataan baru-baru ini, berarti proses perdamaian Timur Tengah yang pernah berdasarkan pada fondasi semua permufakatna dan MoU tersebut tidak akan berlaku lagi.
Dalam skenario ini, banyak analisis menilai bahwa bahaya terjadinya konfrontasi kekerasan adalah sangat tinggi. Dasar dari kecemasan itu ialah kenyataan situasi di daerah-daerah Palestina selama puluhan dekade ini masih selalu berada dalam ketegangan dan teramat sensitif. Bentrokan-bentrokan bersenjata dari tingkat kecil-kecilan sampai baku hantam yang berskala besar selalu dicatat di sepanjang garis perbatasan antara Israel dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Di antaranya, pastilah bahwa opini umum belum bisa melupakan bentrokan yang berlumuran darah yang memakan waktu selama berbulan-bulan di kawasan perbatasan antara Jalur Gaza, Tepi Barat dengan Israel, ketika orang Palestina mencanangkan kampanye demonstrasi untuk mengutuk AS yang mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS ke kota ini pada tahun 2018.
Dengan latar belakang dewasa ini, beberapa pendapat bahkan merasa cemas akan meledaknya pemberontakan Intafada ke-3 dari orang Palestina seperti terjadi pada 20 tahun lalu (September 2020), karena menyatakan bahwa orang Palestina nampaknya tidak punya pilihan yang lain.
Jalan terakhir dari orang Palestina
Selama tahun-tahun belakangan ini, masalah Palestina-Israel telah berangsur-angsur disampingkan, tidak lagi menjadi aksentuasi di kawasan Timur Tengah dan oleh karena itu tidak mendapat perhatian yang tuntas dari komunitas internasional seperti pada periode sebelumnya. Ketika Iran bangkit menjadi kekuatan yang penting dalam peraduan strategis di Timur Tengah, peraduan antara Iran dan Arab Saudi telah membuat AS menghimpun semua negara kawasan Teluk untuk bekerjasama dengan Israel. Situasi di Timur Tengah semakin tidak menguntungkan Palestina dan orang Palestina sepenuhnya menyadari kenyataan ini. Oleh karena itu, ketika Israel melakukan rencana menggabungkan kawasan Tepi Barat ke dalam wilayahnya, orang Palestina mengerti bahwa tidak ada siapapun yang bisa mencegah ambisi Israel dan sekarang ini, AS telah menjadi mitra kerjasama dari rencana ini. Untuk menghadapinya, orang Palestina tidak punya cara yang lain ialah harus menarik kembali perhatian komunitas internasional, tidak membiarkan masalah Palestina-Israel disampingkan dan dilupakan. Dan akhirnya, Palestina telah memilih cara menghentikan kerjasama keamanan dengan Israel, membuka kemungkinan kekerasan tanpa memperdulikan akibat-akibat yang sulit diduga bisa terjadi.
Masalah ini semakin lebih mencemaskan ketika kawasan Timur Tengah sekarang ini juga sedang menyaksikan perkembangan-perkembangan sangat rumit yang bersangkutan dengan ketegangan antara AS dan Iran di Teluk Persia. Dengan ketersangkutan yang teramat rumit antar-masalah di Timur Tengah, banyak analisis menyatakan bahwa kasus yang menyesalkan manapun yang terjadi di Teluk Persia juga bisa menjadi katalisator yang menyalakan api kekerasan yang berbahaya yang sedang menunggu pembakaran di wilayah-wilayah Palestina selama hari-hari ini.