Para militan di Afghanistan (foto :AFP/VNA) |
Pada 29/1 lalu, sebelas serdadu Afghanistan telah tewas karena diserang oleh pasukan IS. Hanya dua hari sebelumnya, satu serangan bunuh diri dengan bom mobil di Kabul, Ibukota Afghanistan telah membuat hampir 100 orang tewas. Selama sebulan ini, baik IS maupun Taliban telah bertubi-tubi melakukan serangan terhadap Kabul, Ibukota di tengah-tengah ketidak-berdayaan dari Pemerintah Afghanistan.
Kevakuman keamanan
Afghanistan telah lama terjebak ke dalam instabilitas keamanan karena berbagai bentrokan antara tentara negara ini dan pasukan Taliban. Dengan menyalah-gunakan instabilitas tersebut, banyak organisasi teroris yang lain juga telah membentuk jaringannya di negara ini, yang paling menonjol yalah IS. Untuk bisa menghadapi situasi tersebut, akhir-akhir ini, pasukan-pasukan keamanan Afghanistan telah memperkuat operasi-operasi keamanan di seluruh negeri untuk melawan kaum pembangkan Islam ekstrimis. Tetapi, semua bentrokan antara tentara Pemerintah dengan kaum pembangkang Islam telah merampas jiwa banyak serdadu Afghanistan.
Bisa tampak bahwa setelah AS dan NATO menarik pasukan-nya dari Afghanistan, Taliban telah selangkah demi selangkah memulihkan kekuatan, membangun pasukan, bangkit kembali dan menduduki kembali banyak daerah wilayah Afghanistan. Taliban hampir setiap hari melakukan serangan yang pada pokok-nya menyasar pada pasukan keamanan Afghanistan yang mendapat dukungan AS. Menurut satu laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diumumkan pada akhir tahun 2017, Taliban tidak hanya memperluas pasukannya saja, melainkan juga bisa memperkokoh bagian-bagian wilayah yang sedang didudukinya. Yang lebih berbahaya lagi yalah Taliban bahkan melakukan penatrasi ke dalam barisan pasukan keamanan Afghanistan, melaksanakan serangan-serangan justru dari dalam, membuat situasi keamanan menjadi semakin buruk.
Masalahnya yalah mengapa pasukan keamanan Afghanistan yang mendapat bantuan dan pelatihan dari AS menjadi semakin tidak berdaya terhadap semua serangan? Menurut kalangan pengamat, masalah kuncinya yalah pasukan ini dibentuk secara terburu-buru, menghimpun bermacam-macam unsur pasukan milisi dan berasal dari berbagai suku yang berbeda-beda, bahkan ada kelompok-kelompok yang sebelum-nya telah saling menyerang. Satu penyebab lain yang ditunjukkan oleh para analis yalah karena bertolak dari kenyataan bahwa AS harus memusatkan pasukan untuk tujuan memundurkan IS di Irak dan Suriah, maka telah menciptakan kevakuman keamanan di Afghanistan.
Polisi Afghanistan di Kabul (foto :Xinhua/VNA) |
Perang yang berkepanjangan, belum ada akhirnya.
Pada Agustus 2017, Presiden AS, Donald Trump mengumumkan satu strategi untuk Afghanistan, menurut-nya menimbulkan tekanan yang lebih kuat terhadap Taliban untuk memaksa pasukan ini harus melakukan perundingan dengan Pemerintah Afghanistan. Disamping itu, AS juga menimbulkan tekanan terhadap Pakistan, memaksa Islamabad mengambil langkah-langkah keras dan efektif untuk mencegah aktivitas membantu Taliban, kekuatan yang sedang menggunakan bagian wilayah Pakistan di daerah perbatasan dengan Afghanistan sebagai pangkalan-nya.
Akan tetapi, masalah-nya sampai saat ini yalah semua pernyataan dan tekanan dari Gedung Putih belum bisa mengembangkan menfaatnya. Untuk bisa mengalahkan Taliban dan IS, Pemerintah Kabul harus merebut kembali kepercayaan rakyat bahwa Pemerintah benar-benar menyelenggarakan Tanah Air, menjamin keselamatan mereka, namun ini bukan pekerjaan yang mudah dilaksanakan. Serangan-serangan terus-menerus akhir-akhir ini yang dilakukan IS dan Taliban merupakan bukti akan lemahnya kemampuan Pemerintah dalam menjamin keamanan Tanah Air.
Terus memperkokoh kekuatan tentara Afghanistan meningkatkan jumlah serdadu AS di negara ini merupakan apa yang dinamakan sebagai “strategi baru” dari AS di Afghanistan. Akan tetapi, ada banyak kelompok yang menerima tanggung jawab melaksanakan serangan-serangan telah menunjukkan: Ancaman terhadap keamanan Afghanistan sekarang ini tidak hanya Taliban saja, melainkan juga ada IS, jaringan Haqqani, Al-Qaeda dan banyak organisasi pembangkang lain sedang mempermasalahkan strategi dari Presiden AS, Donald Trump. Banyak pakar dan sarjana internasional menilai bahwa hakekat strategi baru dari AS tidak punya hal yang “baru”, bersamaan itu memperingatkan agar kekuatan militer akan tidak bisa memecahkan bentrokan di negara Asia Selatan ini. Satu permufakatan untuk bentrokan di Afghanistan tampak-nya sulit dicapai pada saat ini dan di depan mata hari depan Afghanistan tetap instabilitas dan kekerasan.