PM Inggeris, Theresa May (Foto : EPA/Kantor Berita Vietnam) |
Setelah pemilu tersebut, PM Inggeris Theresa May menyatakan tekat membentuk satu Pemerintah baru untuk membawa Tanah Air mengatasi prahara dalam proses perundingan tentang Brexit pada waktu mendatang. Untuk bisa mengatasi situasi ini, PM Theresa May sedang berupaya membentuk Pemerintah minoritas dengan dukungan dari Partai Uni Demokrasi (DUP) di Irlandia Utara, Partai yang merebut 10 kursi di Majelis Rendah dalam pemilu yang lalu. Dia juga melakukan perombakan kabinet telah hampir semua posisi utama dalam Pemerintah agar semua anggota Pemerintah bisa membantu dia memikul tanggung jawab penting, termasuk proses perundingan tentang Brexit sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan.
Negara Inggris terus terpecah-belah
Setelah hasil pemilu resmi diumumkan, banyak legislator Partai Buruh dan para pendukung telah cepat menyerukan kepada Theresa May supaya meletakkan jabatan dan menegaskan bahwa Partai Buruh bersedia memegang tanggung jawab memimpin. Partai Buruh menyatakan bahwa mereka sepenuhnya bisa membentuk satu pemerintah minoritas dengan 262 kursi. Pada waktu mendatang, satu pemungutan suara tentang mosi tidak percaya akan berlangsung dalam internal Partai Konservatif. Kalau cukup ada sokongan dari anggota, Theresa May akan terus memegang jabatan sebagai pemimpin negara Inggeris. Kalau yang terjadi sebaliknya keluarnya dia hanya tinggal masalah waktu.
Sekarang beberapa anggota senior dalam Partai Konservatif menyatakan dukungan terhadap Perdana Menteri Theresa May. Mereka menekankan bahwa Kerajaan Inggeris tidak bisa terus mengalami gejolak baru seperti mencari pemimpin baru pada saat melakukan perundingan tentang Brexit sedang mendekat. Sementara itu, banyak anggota yang lain tetap tinggal diam dan ini barulah merupakan yang perlu mendapatkan perhatian khusus, Washington Post memberitakan Partai Konservatif sedang secara diam-diam menjalankan perdebatan apakah membiarkan Theresa May meletakkan jabatan atau tidak dan kalau ya, kapan waktunya, segera atau setelah perundingan-perundingan tentang Brexit dimulai. Kalau Theresa May meninggalkan jalan Downing nomor 10, ini akan merupakan kali ke-2 dalam waktu setahun ini, negara Inggeris harus menyaksikan perubahan pemimpin setelah seorang PM dari Partai Konservatif meletakkan jabatannya ketika menyerukan pemilu lebih awal pada skala nasional.
Kesulitan terhadap proses Brexit
Pemilu di Inggris pada 8/6 dianggap akan menetapkan peta jalan untuk perundingan- perundingan mengenai Brexit, tapi kegagalan yang dialami Perdana Menteri Inggris, Theresa May membuat proses Brexit menghadapi banyak risiko. Dengan latar belakang politik di Kerajaan Inggris sekarang ini, batas waktu untuk memulai semua perundingan tentang Brexit antara Inggris dan Uni Eropa pada 19/6 ini mungkin akan tertunda, karena Partai Konservatif perlu memprioritaskan pembentukan satu pemerintah baru. Kegagalan Perdana Menteri Inggeris, Theresa May dalam usaha meningkatkan posisi mayoritas untuk Partai Konservatif di Parlemen berarti Theresa May atau penerusnya akan tidak hanya harus mengatasi tantangan-tantangan yang amat besar ketika menginginkan agar Majelis Tinggi dan Majelis Rendah mengesahkan pasal-pasal mengenai satu “Brexit keras”, di antara-nya Inggris akan keluar dari Eurozone, persekutuan bea cukai, menghentikan pengawasan dari Pengadilan Uni Eropa, mobilitas bebas dalam Uni Eropa dan membuat perhitungan secara tuntas kepada anggaran keuangan Uni Eropa. Setelah itu, Inggris dan Uni Eropa akan melakukan perundingan kembali dari awal seperti halnya dengan semua negara-nagara lain di dunia, menurut hukum WTO. Kalau Parlemen Inggris memberikan suara anti “Brexit keras”, maka penggelaran Pasal 50 Traktat Lisabon mungkin tertunda dan Brexit sepenuhnya bergantung pada keputusan dari 27 negara anggota Uni Eropa.
Pemilu dini di Kerajaan Inggeris dan semua skenario di luar rencana mungkin menjerumuskan perpolitikan negara Inggeris ke kekisruhan, bahkan perundingan tentang Brexit bisa tertunda tanta batas waktu. Akan tetapi, menurut rencana, semua perundingan tentang Brexit akan harus berakhir pada akhir Maret 2019. Ketika bayangan terorisme- faktor yang dianggap telah berpengaruh secara berarti terhadap psikologi pemilih Inggris dalam pemilu yang lalu masih menghantui, maka perpecah-belahan dalam masyarakat dan di gelanggang politik justru merupakan faktor yang menjerumuskan negara Inggeris ke distabilitas, menimbulkan kesulitan yang tidak kecil terhadap proses Brexit pada hari-hari mendatang.