KTT COP-26: Tantangan dan Harapan

BA THI
Chia sẻ
(VOVWORLD) - Diselenggarakan setelah persiapan-persiapan yang cermat, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahaan Iklim 2021 (COP-26) dengan partisipasi sekitar 120 pemimin negara dan pimpinan pemerintah diharapkan bisa mencapai kemajuan penting dalam perang menanggulangi perubahan iklim global. Tetapi tantangan yang dihadapi para pemimpin peserta KTT tersebut juga sangat besar ketika dunia tidak memiliki banyak pilihan dalam menghadapi perubahan iklim yang patut dicemaskan saat ini.
KTT COP-26: Tantangan dan Harapan - ảnh 1Acara pembukaan KTT COP-26   (Foto: AFP/VNA)

KTT COP-26 berlangsung pada latar belakang perubahan iklim global kian lebih memburuk. Laporan yang mengawali KTT tersebut menunjukkan debit air laut rata-rata naik 2,3 meter dalam waktu 30 tahun terakhir karena pencairan sungai-sungai es, sementara rekor-rekor tentang emisi gas rumah kaca ditegakkan terus-menerus. Menjelang KTT tersebut, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB), Antonio Guterres menegaskan situasi iklim saat ini adalah “tiket satu arah yang mendatangkan musibah”. Situasi nyata ini membuat KTT COP-26 diharapkan akan mengeluarkan tujuan-tujuan yang bersifat menentukan tentang masa depan jangka panjang dunia dalam menghadapi ancaman iklim dan perubahan iklim yang ditimbulkan manusia.

 

Indikasi-Indikasi yang Menggembirakan

Sehari sebelum KTT COP-26 dibuka, KTT Kelompok Negara-Negara Berkembang yang baru muncul di dunia (G-20) telah mencapai permufakatan penting dalam upaya menahan peningkatan panas bumi. Dengan demikian, untuk pertama kalinya pimpinan G-20 mencapai kesepakatan tentang dukungan terhadap target mengekang agar pemanasan bumi tidak meningkat 1,5 derajat selsius dibandingkan periode sebelum revolusi industri sesuai semangat Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim 2015. Dengan potensi dan pengaruhnya, komitmen G-20 dianggap sebagai satu motivasi positif bagi para pemimpin COP-26 untuk mengeluarkan keputusan-keputusan.

Namun motivasi yang dianggap terbesar dalam perang menanggulangi perubahan iklim global pada umumnya dan COP-26 pada khususnya yakni kembalinya Amerika Serikat (AS). Setelah memimpin AS pada Januari 2021, Presiden Joe Biden memutuskan berpartisipasi kembali dalam serentetan konvensi internasional, di antaranya Perjanjian Paris 2015. Presiden Joe Biden juga berkomitmen agar hingga 2025 akan mengurangi 50-52 persen gas limbah AS dibandingkan angka stratistik tahun 2005, menjadi teladan tentang penanggulangan perubahan iklim. Pesan ini terus ditekankan pemimpin AS dalam pidatonya dalam sidang resmi pertama KTT COP-26 pada 1 November lalu.

Juga pada hari itu, salah satu negara yang memiliki emisi gas utama di dunia yakni India telah berkomitmen membawa emisi gas menjadi 0 persen pada 2070. Ini adalah negara yang membuang karbon terbesar di dunia yang mengumumkan target emisi gas menjadi 0 persen. Sebelumnya, Tiongkok menyatakan akan mencapai target tersebut pada 2060, sementara AS dan Uni Eropa ialah pada tahun 2050.

 

Masih Ada Banyak Tantangan dan Perlukan Banyak Upaya

Bisa dilihat bahwa kemajuan-kemajuan yang dicapai KTT COP-26 hingga saat ini sangat positif. Tetapi, perang menanggulangi perubahan iklim global dianggap masih menghadapi banyak tantangan. Sementara itu, peran memimpin dari AS masih belum terjamin. Karena hingga saat ini, rencana menyediakan 555 miliar USD dalam paket pengeluaran sosial untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari perekonomian AS yang direkomendasikan Presiden Joe Biden  masih belum disahkan Kongres AS. Sementara itu, program senilai 150 miliar USD dengan maksud mendesak perusahaan-perusahaan agar memperkuat transformasi ke penggunaan energi bersih, bahkan disingkirkan dari paket rekomendasi anggaran keuangan.

Di samping itu, risiko negara-negara yang tidak bisa atau tidak melaksanakan komitmen selengkapnya bisa terjadi dengan banyak alasan yang berbeda-beda. Sementara itu, perihal perekonomian-perekonomian di dunia harus menyediakan sumber daya untuk menghadapi dan mengatasi akibat pandemi Covid-19 bisa memengaruhi sumber daya penanggulangan perubahan iklim.

Hal ini menjelaskan mengapa banyak pemimpin peserta COP-26 telah dengan khusus menekankan prioritas sumber daya untuk menanggulangi perubahan iklim. Sementara itu, Perdana Menteri Viet Nam, Pham Minh Chinh menekankan bahwa menghadapi perubahan iklim, memulihkan alam sekitar harus menjadi prioritas paling tinggi dalam  semua keputusan perkembangan, menjadi standar moral yang paling tinggi bagi pemerintahan dan instansi berbagai tingkat, semua badan usaha dan warga. Perdana Menteri Viet Nam mengimbau semua negara agar memberikan komitmen kuat tentang pengurangan emisi gas rumah kaca berdasarkan prinsip tanggung-jawab bersama, tetapi ada perbedaan, sesuai kondisi, situasi dan kapasitas setiap negara, harus setara dan adil tentang perubahan iklim.  

Komentar