Wakil Fatah, Azam al Ahmad dan wakil Hamas, Saleh al Anuri menandatangani permufakatan di Kairo pada 12 Oktober (Foto: AFP-VNA) |
Menurut permufakatan yang baru saja ditandatangani, Gerakan Hamas akan menyerahkan hak kontrol atas koridor Rafah dan semua badan administrasi di Jalur Gaza kepada Pemerintah Persatuan Palestina berturut-turut pada tanggal 1 November dan 1 Desember mendatang. Fatah akan mengerahkan kira-kira 3.000 polisi untuk menambah pasukan polisi di Jalur Gaza, walaupun Gerakan Hamas tetap merupakan kelompok bersenjata yang paling kuat di Palestina dengan kira-kira 25.000 militan yang dipersenjatai secara baik. Gerakan Hamas dan Fatah akan bersama-sama berbahas tentang hari pemilu Presiden dan Parlemen serta berbahas tentang perambokan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang memikul tanggung-jawab mengusahakan perdamaian dengan Israel.
Permufakatan terakhir
Persetujuan Fatah dan Gerakan Hamas untuk duduk bersama dalam “perahu” dianggap sebagai hal yang wajar pada latar belakang situasi regional dan internasional telah mengalami banyak perubahan. Di Timur Tengah, perhatian sekarang ini ditumpahkan pada perang melawan Organisasi yang menamakan diri sebagai “Negara Islam” (IS); atau bentrokan di Suriah, masalah nuklir Iran, krisis diplomatik Teluk dan lain-lain. Oleh karena itu, masalah Palestina sudah tidak lagi mendapat perhatian seperti dulu. Dalam pada itu, Amerika Serikat dan banyak negara Arab sedang memanifestasikan kecenderungan mendukung Israel di berbagai tingkat yang berbeda-beda. Lebih-lebih lagi, haluan Gerakan Hamas yang melakukan perjuangan bersenjata telah mengakibatkan bentrokan-bentrokan dengan Israel, bahkan menciptakan dalih kepada negara ini supaya menolak semua komitmen dan memacetkan proses perdamaian Timur Tengah. Sekarang ini, dukungan terhadap Gerakan Hamas sedang merosot dratis karena tekanan yang ditimbulkan oleh negara-negara lain. Oleh karena itu, kerukunan antara Gerakan Hamas dan Fatah punya arti politik yang sangat besar terhadap Palestina pada khususnya dan proses perdamaian di kawasan ini pada umumnya.
Presiden Palestina Mahmouh Abbas telah menegaskan bahwa ini merupakan “permufakatan terakhir” untuk menghentikan pemisahan dan bentrokan antara dua kubu. Bahkan, dia telah juga berencana mengunjungi Jalur Gaza dalam waktu sebulan nanti sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi. Ini akan merupakan kunjungannya yang pertama ke kawasan yang dikontrol oleh Gerakan Hamas dalam waktu satu dekade ini dan dinilai sebagai langkah bantalan untuk menuju ke penghapusan semua embargo yang dikenakan di kawasan ini.
Di aspek internasional tekanan terhadap Palestina untuk melakukan rekonsiliasi internal membantu Mesir tidak hanya menjamin keamanan negerinya sendiri, berhasil menetapkan peranan politik di kawasan, tapi juga mengurangi ketidak-enakann dalam berperilaku terhadap Israel. Rekonsiliasi dengan Fatah akan memaksa Gerakan Hamas mengurangi permusuhan dan sikap ekstrimis terhadap Israel, dan Pemerintah Tel Aviv kalau ingin hanya harus melakukan perundingan dengan satu negara Palestina yang tunggal, jadi bukan harus melakukan perundingan dengan dua gerakan politik.
Kelayakan dari permufakatan
Para analis menilai bahwa permufakatan antara Fatah dan Gerakan Hamas kali ini mendapatkan banyak kesempatan untuk lebih dihormati terbanding dengan permufakatan-permufakatan sebelumnya. Alasannya karena Gerakan Hamas semakin terisolasi dan ekonomi di Jalur Gaza semakin lemah karena diblokadir dan infrastrukturnya menderita banyak kerusakan dalam baku tembak dengan Israel. Sekarang ini, dua juta warga di Jalur Gaza hidup dalam keadaan kekurangan listrik secara serius dan prosentase pengangguran tinggi. Oleh karena itu, kalau permufakatan ini dilaksanakan, blokade terhadap Jalur Gaza akan dihapuskan dan semua kesulitan dalam kehidupan warga di sini akan bisa dipecahkan.
Akan tetapi, menurut komentator politik Palestina, Mustafa Ibraham, dengan masalah hari pemilihan yang belum ditetapkan dan semua ketentuan yang lain juga belum jelas, maka rakyat Palestina supaya jangan tergesa-gesa gembira. Yang tipikal ialah pada saat hak kontrol terhadap garis perbatasan antara Jalur Gaza dengan Israel akan diserahkan kepada Pemerintah Palestina pada tanggal 1 November mendatang, maka garis perbatasan dengan Mesir akan memerlukan banyak waktu untuk dirundingkan. Brigade Ezzedine al-Qasam, kelompok bersenjata yang beranggotakan kira-kira 25.000 orang juga merupakan satu rintangan dalam melaksanakan permufakatan yang ditandatangani pada tanggal 12 Oktober ini. Para pejabat tinggi Gerakan Hamas memberitahukan bahwa pembubaran terhadap kelompok bersenjata ini adalah hal tidak bisa, sementara itu, Presiden Abbas menegaskan bahwa Pemerintah Palestina harus menguasai sepenuhnya hak kontrol. Hal yang penting lagi ialah nasib puluhan ribu personil pemerintah yang direkrut oleh Gerakan Hamas sejak tahun 2007. Masalah ini harus sampai Februari tahun 2018 baru bisa dipecahkan.
Kelayakan dari permufakatna ini akan juga menderita tekanan yang tidak kecil dari negara-negara di dalam dan luar kawasan Timur Tengah. Karena, tidak seperti halnya dengan PLO yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas, Gerakan Hamas tidak pernah mengakui Israel dan akan tidak melepaskan kekerasan. Dalam pada itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memperingatkan bahwa Pemerintahnya akan tidak menerima permufakatan apapun, kecuali Gerakan Hamas melucuti senjata dan mengakui eksistensi Israel. Amerika Serikat, negara yang sedang mencari cara untuk menggerakkan kembali proses perdamaian Israel-Palestina juga menunjukan pandangannya bahwa Pemerintah Palestina manapun juga harus mengakui eksistensi Israel.
Kerukunan nasional selalu merupakan harapan rakyat Palestina. Tercapainya permufakatan rekonsiliasi antara Gerakan Hamas dan Fatah hanyalah langkah pertama di atas jalan rekonsiliasi internasional, demi satu tujuan bersama yaitu membentuk satu negara Palestina yang merdeka. Tantangan sebenarnya masih ada di depan mata, khususnya perselisihan-perselisihan antara Hamas dan Fatah dalam memecahkan bentrokan Palestina-Israel dan rintangan dari pihak Israel.